ANAK kos selalu punya impian. Dan itu wajar. Anak kos yang satu ini, juga punya impian. Ia mau beli rumah induk semangnya. Inilah yang menjadi pangkal ketegangan harmonisasi Jokowi dan Megawati.
Setelah melewati masa-masa indah, di ujung masa pemerintahannya, Jokowi ingin kosannya di istana bertambah satu periode. Tentu isu yang tidak popular. Karena langsung bersinggungan dengan banyak elit politik.
Ini tempat kos bergengsi, elit, strategis. Karena itu banyak yang minat. Bahkan rela berkongsi agar bisa mencicipi kos-kosan elit itu. Walau tidak dapat di tempat utama, tidak apa-apa. Di emperan pun jadi. Jadi tukang pel pun jadi.
Masalahnya, anak kos ini, bayar kos nggak lancar. Kok mau perpanjang kontrak. Bukan saja macet bayar kos, justru banyak utang di toko sebelah. Utang rokok di toko kelontong Babah Liong. Utang Mie di warung juga belum bayar.
Induk semangnya beberapa kali mencibir. Mengingatkan. Menjewer. Disentil. Dalam forum bergengsi partai. Saat HUT PDI-P awal 2023 lalu.
Gerah. Dengan sentil-sentilan panas si induk semang, anak kos ini, bikin manuver.
Backbonenya sudah terlihat. PAN. Partai Amanat Nasional. Menyusul akan digalang partai-partai lapar yang siap menjadi tukang pel, tukang bikin kopi, tukang bikin sarapan, tukang lap piring.
PAN sudah menyodorkan perpanjangan kekuasaan si anak kos melalui: Ganjar-Erick. Upaya ini sebagai jalan tengah perpanjangan kekuasaan si anak kos di istana. Setelah tiga periode diusung sebagai wacana, ditentang banyak kalangan karena dalam paradigma demokrasi itu dianggap sebagai bencana.
Si induk semang kocolongan. Kadernya, Ganjar Pranowo dipetik begitu saja. Tanpa izin. Tanpa permisi. Tanpa kulonuwun.
Sebagai aset, Ganjar ya tetap aset PDI-P. Walaupun mungkin, ditepikan. Disingkirkan. PDI-P itu, hidup dalam romansa Soekarno yang disublim seolah-olah ideologi. Jualan Mega kemana-mana ya soal Soekarnoisme. Bukan menitik beratkan pada ajarannya. Melainkan kepada genetikanya.
Karena itu, Mega dilema. Ganjar elektabel. Tapi dia bukan trah Soekarno. Sebaliknya, Puan Maharani tidak masuk klasemen survey-survey pencapresan.
Inilah yang membuat banteng belum juga mengumumkan capres. Diplomasi Mega soal ini, sudah masuk dalam dimensi extra supranatural. Menunggu petunjuk Tuhan dalam pencapresan. PAN lebih realistis, meminta restu Jokowi.
Ketika kita hidup di bumi, maka bahasa bumi yang dipakai. Karena itu, ketika Mega menggunakan bahasa langitan dapat dipahami ia ingin capresnya nanti memiliki persentase elektabilitas fly to the moon.
Itulah yang membuat si induk semang ini galau. Ia tidak menemukan sosok itu pada Puan. Jika Puan dipaksakan menjadi Capres, melihat reaksi pasar politik saat ini, agaknya belum bisa menerima Puan sebagai dagangan yang elok.
Akankah kubu banteng menggadaikan kembali kosan di istana kepada anak-anak kos. Atau mungkin menjual aset itu ke anak kos. Waduh!
Bahaya….***