ANAK pejabat bertingkah. Wajar. Bapaknya juga bertingkah. Pernah dengar istilah, bapak kalong anak kampret. Itulah nilai mendasari tingkah anak pejabat.
Bapak kalong anak kampret. Hanya istilah baru. Diperbaru. Diambil dari pepatah lama, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Kecuali pohon di pinggir sungai. Buahnya bisa terbawa air jauh sampai ke laut.
Bapak kalong anak kampret itu juga tak jauh dari buah jatuh. Maksudnya, bapak nyolong anak nyopet.
Pepatah ini muncul bukan tercetus spontan… uhuy! Tapi dari pengalaman hidup turun menurun. Ilmu hidup. Ilmu kehidupan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pepatah ini hidup. Dan terus hidup. Selama masih ada yang ingin dipatah-patahkan.
Apa yang harus dipatahkan. Logika bengkok. Logika bengkok ini menjadi pandangan yang akan membelokkan juga kesimpulan.
Kita ingin mematahkan logika mengenai kelakuan anak pejabat pajak. Dalam logika anak pejabat, duit-duit bapak gue, mobil-mobil bapak gue, motor-motor bapak gue, ada urusan apa sama orang lain.
Inilah bengkoknya.
Bagi Mario Dandy Satrio kebengkokan logika itu adalah kebenaran. Absolut. Karena itu, ia buta akan sekelilingnya. Termasuk membabibuta menghajar David.
Termasuk, mungkin bahwa mobil dan motor buat gaya-gayaan itu juga seharusnya disimpan. Seperti orang tuanya, Rafael Alun Trisambodo, menyimpan barang-barang itu dalam laporan harta kekayaan pejabat yang harus dilaporkan.
Kalau saja, hanya penganiayaan, itu murni kriminal. Tetapi, ketika pamer barang-barang mewah, mulailah diusut barang-barang itu dari mana.
Paradoks memang, ketika sebagian besar rakyat Indonesia berjuang untuk sepiring nasi, si pejabat malah bergelimang harta yang belum diketahui kehalalannya.
Apakah masuk dalam kategori korupsi atau dimiliki dari uang bersih.
Sepiring nasi dan Rubicon, secomot tempe dan Harley Davidson, ini akan bersanding terus dalam ketidakadilan perlakuan negara kepada dua kelompok ini.
Bahwa hidup ada yang kaya dan miskin memang begitu lazimnya. Sudah digariskan sejak dulu begitu.
Yang tidak terlihat adalah sisi keadilan perlakuan negara. Bahwa mungkin saja dalam satu part dari Rubicon dan Harley Davidson harta si pejabat ada pajak dari pejuang sepiring nasi dan secomot tempe.
Boleh kita meminta keadilan. Tapi… Pak Mahfud MD pernah ngetwit soal ini. Karikatur rakyat yang minta keadilan, lalu dibalas oleh pejabat yang menentukan nilai keadilan dengan nada yang mencomooh. “Minta… minta… beli!”
Kasus anak pejabat pamer harta yang belum dilaporkan orang tuanya ke negara ini menarik. Ini puncak gunung es dari betapa lemahnya sistem pengawasan di perpajakan.
Dan sudah sejak lama ini didemonstrasikan dengan liarnya oleh Gayus Tambunan. Ingatkan?
Semakin runyamlah tentunya. Banyak kongkalikong. Padahal, untuk membentengi godaan kongkalikong, sudah dibuat berbagai instrumen. Bonus yang tinggi bagi para pegawai perpajakan, gaji di atas standar, insentif yang menggairahkan.
Tapi yang dinaikkan hanya materi. Uang itu seperti air laut, semakin diminum semakin haus. Yang perlu sebenarnya menaikkan moral, etik, dan integritas.
Karena itu, tak cukup dengan pemecatan Rafel Alun Trisambodo. Kendati ini pun langkah bagus. Tapi kurang. Ini sama seperti mengamputasi pasien diabetes demi menyelamatkan satu institusi.
Yang tercoreng itu Ibu Sri Mulyani. Dan, seharusnya dia harus ekstra untuk bersih-bersih.
Kalau tidak bisa ya lebih baik mundur. Bukan kah beliau yang ingin membantu menaikkan moral dan etika di institusi Departemen Keuangan?
Dan, Menurut Mahfud MD, PPATK sudah melihat kejanggalan transaksi di rekening Rafael. Kini sedang diaudit bersama-sama dengan KPK.
Dari 2021. Kok lama amat baru dieksekusi sekarang.
Bukan tidak mungkin, masih banyak Rafael Rafael lain di perpajakan.
Kalau gak diberantas bahaya. Karena sangat mencederai rasa keadilan si pejuang sepiring nasi.***