BUKAN hanya tahu bulat yang digoreng dadakan. Ini juga dadakan: Gus Etho. Lengkapnya Erick Thohir. Ketua Panitia #1Abadnahdhatululama. Perayaan satu abad NU berjalan lancar. Semarak. Gemerlap.
Gus Etho, nama baru, sesuai tradisi di kalangan nahdhiyyin. Untuk orang yang dihormati disapa gus. Ini harus tepat penulisannya.
Kalau kebanyakan huruf “U” juga tidak pas. Guus Hiddink, nih asli orang Belanda. Pelatih timnas Belanda di Piala Dunia 1998 di Prancis. Kemudian, pelatih Korea Selatan di Piala Dunia 2002.
Itu satu-satunya guus yang bukan warga NU.
Biasanya yang mendapat julukan gus, anak-anak kiai. Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari anak-anaknya hingga cucunya dipanggil gus. Yang paling ngetop Gus Dur. Aneh tentunya ketika kita memanggil Kiai Dur. Lebih pas dan lebih tepat Gus Dur.
Abdurrahman Wahid, lebih suka dipanggil Gus Dur daripada Kiai Dur. Mengapa? Ada alasannya.
Sebutan kiai itu terlalu agung dan tinggi bagi Gus Dur.
“Saya sih lebih seneng dipanggil gus! Sebutan kiai terlalu berat buat saya,” kata Gus Dur. “Kiai itu kan harus kuat tirakat. Makan sedikit. Tidur sedikit. Ngomong juga sedikit.”
“Nggak kuat saya,” tegas Gus Dur.
“Enakan jadi gus saja. Dikit-dikit makan. Dikit-dikit tidur. Dikit-dikit ngomong…!”
Sebagai pemula, enaknya memang kita panggil Gus Etho. Bukan Kiai Etho.
Ibarat pemain bola, Gus Etho ini pemain naturalisasi. NU naturalisasi. Dia besar di Tebet, Jakarta Selatan. Namun, besar dan melanjutkan SMA di Amerika, hingga S2.
Jadi dia NU-SA. Nahdatul Ulama State of America. NU cabang Amerika.
Mengapa NU?
Pertanyaan menarik. NU itu sifatnya terbuka terhadap siapa pun. Sehingga Gus Etho bisa masuk di lingkungan NU lebih mudah diterima. Kalau Muhammadiyah dan Persis, dua organisasi Islam yang juga mengakar, mungkin agak sulit diterima.
Kiai-kiai NU itu kiai langitan yang tidak lupa menginjak bumi. Secara hakekat, mereka kaum langitan, tapi syariatnya di akar rumput. Rahmatan lil a’lamin.
Karena itulah NU lebih mudah menerima orang luar dibandingkan Muhammadiyah dan Persis.
Menarik tentunya, menanti kiprah Gus Etho selanjutnya di NU. Misalnya membuat BUMNU. Badan Usaha Milik Nahdhatul Ulama.
Gus Dur pernah melakukan ini pada 1990 menggandeng Bank Summa. Namun, salah manajemen sehingga kegiatan ekonomi umat dengan Bank Summa tidak berjalan.
Di tangan Gus Etho. Yang belajar kitab kuning babul muamalah wal mudharabah di AS tentu saja bisa terwujud pemberdayaan ekonomi warga NU. Baik sebagai objek, maupun subjek.
Tapi ini baru sebatas harapan. Dan, berharap boleh-boleh saja. Toh Gus Etho pun, masih ada di permukaan. Baru sebatas bajunya NU. Perlu waktu untuk meresapkan nilai-nilai NU dalam desah dan denyut keseharian Gus Etho. Agar apa? Agar NU tak hanya sebatas bungkus.
Matanya NU. Lidahnya NU, bicaranya NU.
Nah, mata mungkin sudah NU. Melihat massa yang besar, mata segera menangkap sebagai peluang.
Lidah dan bicara seperti NU yang susah. Tentu saja. Dan ini terlihat di akhir pidato Gus Etho. Dia tidak fasih membaca kalimat Wallahul muwaffiq ila aqwamit-tharieq Wassalamu Alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Terasa benar NU naturalisasinya di sini. Di unggahan twitter @mellytriany pada 7 Februari, terdengar kurang fasih dan tidak tepatnya Gus Etho melafalkan akhir sambutannya.
Lebih baik tentunya membaca yang dikuasai saja. Tapi, Gus Etho ingin lebih dalam ke NU. Ke jantung. Walau akhirnya menuai kritik di medsos.
Sebelumnya, akhir sambutan didahului dengan Wabillahittaufik Wal Hidayah…. dst. Namun, karena hampir semua umat Islam di Indonesia menggunakan kalimat ini, terasa kurang khusus bagi NU.
Karena itu sebagai identitas, NU menciptakan salam penutup khusus: Wallahul muwaffiq ila aqwamit-tharieq.
(“Allah adalah Dzat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya.”)
Seperti diunggah situs NU, lafal ini cukup sulit diucapkan orang-orang non-NU.
Selamat datang pemain naturalisasi, eh… NU naturalisasi.***