NU atau Nahdlatul Ulama merayakan hari jadi ke-100. Satu abad. #1AbadNU langsung trending di twitter. 5.622 tweet dalam rentang satu jam.
Wajar. Ini ormas guede buanget. 90 juta warganya sekarang. Ya kurang lebih 30 persen Indonesia.
Momentum seabad dirayakan meriah. Sangat meriah.
Yang tidak fasih Al Fatihah pun hadir merayakan 100 tahun NU. Yang jarang ngaji pun ikut di HUT ini.
NU itu seksi. Banget. Pake banget. Selain PSSI di sepak bola, tidak ada organisasi yang bersinggungan langsung dengan akar rumput dengan jumlah massa yang begitu besar.
Kalau saja NU membuat Liga NU, pasti PSSI kalang kabut.
Sayangnya, NU tidak ingin memainkan potensi itu. Dalam konteks politik tentu, kekuatan 90 juta itu, superior. Kandang banteng sih kalah.
Pemilu 2019 PDIP meraih 27 juta suara. Gerindra 17,5 juta. Golkar 17,2.
90 juta suara itu, superior. Tiga kali pemilu pun PDIP gak akan mampu mengumpulkan suara sebanyak itu.
Namun seperti hadits Nabi Muhammad yang sangat relevan dengan konteks NU masa kini.
Rasulullah bersabda, “nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.”
Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?”
Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di laut. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.”
Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).
Konteks yang pas dengan NU adalah jumlahnya banyak tapi bagai buih di lautan. NU itu tercerai-berai. Bajunya sama. Tidak satu visi. Tidak satu komando.
Karena itulah NU mudah disusupi. Juga ditunggangi.
Padahal, beberapa kali upaya mengkerdilkan NU itu gagal. Pak Harto, gagal mengebiri Gus Dur pada 1990. Cucu pendiri NU, Hasyim Asy’ari, membuat gerakan ekonomi menggandeng Bank Summa. Pak Harto tidak setuju dengan langkah Gus Dur. Karena dinilai membawa NU melenceng dari kegiatan keagamaan.
Kegiatan ekonomi ini gagal bukan karena larangan Pak Harto, melainkan salah manajemen mengelola dana umat. Walaupun begitu, rezim saat itu was-was, NU bisa menjelma menjadi kekuatan baru.
Sadar akan kekuatan masif NU, Pak Harto berupaya memasung NU dan Gus Dur untuk tidak berpolitik dan kegiatan lainnya di luar kegiatan keagamaan.
Letkol Prabowo Subianto, kala itu, menantu Pak Harto, menjadi penengah sekaligus pembujuk Gus Dur untuk tidak berpolitik. Gus Dur dipanggil ke Mabes TNI.
Ampuh?
Gus Dur, ya Gus Dur, kalau tidak Gus Dur, dia bukan Gus Dur.
Ia tidak takut sama sekali. Malah balik mengancam, akan keluar dari NU. Pak Harto akhirnya terpaksa mengalah.
Sekali lagi NU membuktikan karomahnya. Pada Pemilu 1987, NU menarik diri dari Partai Persatuan Pembangunan. Ini karena NU tidak mendapat peran penting di partai berlambang Ka’bah itu.
Akibatnya suara PPP anjlok dari 28% pada Pemilu 1982, menjadi 16% pada 1987.
Kini menjelang Pemilu 2024, NU diperhitungkan. Lihatlah, Pak Jokowi hadir di sana. Erick Thohir menjadi ketua panitia peringatan #1AbadNU. Ganjar Pranowo ada di sana. Beberapa menteri juga hadir.
Ini seperti menteri-menteri mau rapat kabinet di HUT #1AbadNU. Sebegitu pentingnya NU sehingga banyak elit politik hadir di sana. NU kegeeran. Baru sekali ini, HUT NU begitu meriah, megah, terpandang.
NU diperhitungkan di sini bukan karena peranannya penting bagi negara. Tapi suaranya penting untuk mengusung tokoh yang akan ke istana.
Sinting.
Ayo NU, bangkitlah. Tidak cukupkah dua karomah yang sudah diberikan dalam rentang sejarah Indonesia. Pak Harto yang saat itu, semut pun harus tunduk kepadanya, gagal mengkerdikan kamu.
PPP yang merasa besar karena menjadi rumah bagi NU, gembos di Pemilu 1987.
Masih menunggu karomah yang lain? Tidakkah itu sangat cukup?
Sadarlah NU. Bangun dari tidurmu. Memang hari mulai malam, țapi jangan tidur. Jangan kau anggap hari lahirmu, 1926 itu ba’da Isya. Itu bukan jam. Tapi tahun. Kalau itu jam, memang waktunya tidur.
Tapi ini tahun. 100 tahun. Tak sebentar, itu. Bangkitlah.
Buatlah karomah ketiga.***