SEPAK bola menghidupkan jargon The Power of Emak-emak. Tapi bukan soal naik motor sen ke kiri belok kanan. Ini benar-benar tenaga dalam arti sesungguhnya. Tim nasional Maroko benar-benar merasakan power emak-emak itu.
Maroko mayoritas muslim penganut mazhab Imam Maliki. Ada perbedaan cara beribadah dengan Mazhab Syafi’i yang hidup di tanah Indonesia dan Asia Tenggara. Namun, soal emak-emak, kedua mazhab ini sama memandangnya. Emak adalah rumah belajar bagi anak-anak. Satu pandangan pula tentang hadist, Al Jannatu Tahta Aqdamil Ummahat. Surga di bawah telap kaki ibu.
Di sinilah tertanam pelajaran emak-emak dalam diri tim nasional Maroko. Kemenangan mereka atas Belgia, tim bertabur bintang yang dianggap sebagai Brasilnya Eropa, merupakan bukti power emak-emak yang bekerja. Doa ibu, bukan nama bis malam ya, langsung mengguncang langit.
Doa apa yang dipanjatkan ibunda Achraf Hakimi, Saida Mouh. Tentu saja, kesuksesan anaknya. Sebagai pembantu rumah tangga, kerjanya sehari-hari, sulit untuk mengharapkan lompatan kehidupan sosial. Ia mengharapkan anaknya mampu mengubah nasib keluarga mereka dari sepak bola.
Doa yang sangat wajar dari mulut suci seorang ibu. Maklumlah, si ayah, Hassan Hakimi hanya pekerja di jalanan, jadi PKL. Mereka tinggal di Getafe, pinggiran Madrid, Spanyol. Urusan duit, tak bisalah mereka mendapatkan dalam jumlah banyak. Kerja hari ini, habis hari ini. Hanya sedikit yang tersisa, itu pun hanya buat jajan Achraf atau Arra beserta dua adiknya, Nabilla dan Ouidad.
Arra tumbuh di jalanan. Memainkan sepak bola juga di jalanan. Sampai si ibu tahu bakat anaknya harus disalurkan ke sekolah sepak bola. Susah payah mereka kumpulkan uang demi anaknya masuk Real Madrid Academy melalui Colonia Ofigevi pada 2006. Atau tepat Arra berusia 8 tahun.
Saida jeli melihat perkembangan anaknya. Ia tahu anaknya mampu bermain bola, bukan sekadar mampu. Tapi di atas rata-rata. Karena itulah, giat sekali Hakkimi dan Saida mengumpulkan uang agar anaknya bisa mampir di Real Madrid Academy. Tentu perjuangan keduanya berdarah-darah.
Air mata bercampur keringat. Darah berbalut semangat. Dan, buah kerja keras itu akhirnya dipetik. Kini, Arra menjadi pemain andalan di Paris Saint Germain. Klub kaya raya di Prancis. Ia meniti karier di Real Madrid dari tim junior. Lalu terpilih di tim senior Real Madrid (2017-2018), sampai akhirnya ke Borussia Dortmund (2018-2020), dan kembali ke Madrid (2020) setengah musim kompetisi, terbang ke Inter Milan, dan sampai di klub kaya Paris Saint Germain saat ini.
Tadi malam, Arra turun ke lapangan membela Maroko melawan favorit Belgia. Raksasa Eropa ini diunggulkan. Mereka punya bintang yang semuanya masih bersinar terang. Ada Eden Hazzard, striker Real Madrid. Kevin de Brunye, playmaker Manchester City. Kiper Tibot Courtois, kiper Real Madrid, yang sangat jago menangkap penalti. Serta ada anak muda yang jadi andalan Chelsea dan membela klub Turki Fenerbahce, Michy Batshuayi.
Semua kebesaran itu, sirna. Belgia melempem di depan doa seorang ibu, Saida Mouh.
“Ibuku dulu bekerja membersihkan rumah-rumah, ayahku berjualan di jalanan. Mereka berkorban banyak sekali sehingga aku bisa bermain sepak bola. Sekarang gantian aku yang bertarung setiap hari untuk mereka,” kata Arra seperti dikutip The Guardian.
Arra memang tidak mencetak gol ke gawang Belgia, ketika timnya menang 2-0. Tapi dia mencetak kemenangan dalam hidupnya. Memenangkan doa ibunya. Memenangkan keringat ayahnya. Memenangkan gengsi bangsa-bangsa Afrika. Dan memenangkan harapan-harapan semua orang yang terbuang.
Dia menemukan surga sejatinya. Di kaki Saida Mouh. ***