TIDAK banyak pelatih yang punya kharisma besar. Bendol satu dari yang sedikit itu.
Di lapangan dia bukan raja. Dia pekerja. Di lapangan dia juga bukan tuan. Tapi dia disegani pemain.
Semua instruksinya dijalankan pemain. Inilah yang membuat tim medioker Persita Tangerang mampu bertahan di Liga Indonesia dengan dana yang tidak terlalu besar.
Tidak sebesar Pelita Jaya, tim milik Nirwan Bakrie. Tidak juga sebesar Persib, Persija, Persebaya.
Dengan dana minimalis Persita eksis.
Dari tangannya lahir dua nama besar yang sempat merajai panggung sepak bola Nasional. Siapa dia? Agus Suparman. Siapa dia? Ilham Jayakesuma.
Nama terakhir benar-benar ia bidani. Dari Liga Remaja –dulu PSSI punya Liga Remaja– hingga masuk tim senior Persita. Dan, terus melangkah ke tim nasional.
Ilham top skorer Piala AFF 2004 dengan koleksi 7 gol. Ia menyingkirkan Si Kurus, Kurniawan, dari posisi first 11. Ia lebih dipercaya pelatih Peter White. Ilham hanya kalah satu gol dari Bambang Pamungkas, 8 gol, Piala AFF 2002.
Bendol menyukai striker gesit, kuat, dan tinggi. Ilham memang bukan striker ideal menurut kriterianya. Tapi bukan Bendol jika hanya berkeluh kesah.
Striker pilihan Bendol itu ya pemain dengan perawakan tegap, berotot, tinggi.
Tinggi. Ini yang dia tebalkan. Karena menurutnya, akan mudah memenangkan duel di udara.
Tipe pemain tengah yang dia sukai Gianfranco Zola. Saat membela Parma di Serie A, Zola benar-benar menggila.
Di Persita ia hanya punya pemain seadanya. Namun, mampu disulap menjadi kekuatan solid.
Itulah tangan dingin Bendol.
Kini si tangan dingin itu sudah tiada. Orang yang baik. Ia mengizinkan beberapa kali saya ikut di dalam ofisial bus Persija dari hotel ke GBK. Ketika bendol menjadi pelatih Persija 2013-2014.
Hanya saja, saya tidak diizinkan masuk di barracuda yang membawa persija dari hotel ke Stadion Si Jalak Harupat.
Karena berbagai alasan. Pertama tentu kendaraannya terbatas. Ia juga tidak ingin reaksi pemain-pemain Persija terekam saat berada di barracuda dalam perjalanan ke Si Jalak Harupat.
Kondisinya saat itu seperti perang. Iring-iringan barracuda yang membawa pemain Persija dihujani batu oleh bobotoh.
Bendol dengan gayanya yang khas marah-marah kepada panpel. Karena mendapat perlakuan kurang baik.
Itu semua tinggal kenanangan. Bendol yang berapi-api sudah tiada.
Dia terkena gula sejak lama. Badannya susut. Dia juga pernah kencing batu. Dan punya cara sendiri mengatasinya tanpa operasi. “Saya minum sebanyak-banyaknya. Pas kencing keluar batunya,” kata Bendol.
Saya termasuk jarang mewawancarai Bendol, kendati hampir tiap hari ketemu di Stadion Benteng, markas Persita. Saat Bendol menangani Persita 1995-1998.
Semua bahan berita yang saya butuhkan sudah disampaikan di depan pemain. Dia pun tahu saya mendekat ketika dia memberikan pengarahan kepada pemain dengan memasukkan tamsil-tamsil yang menjadi bumbu berita.
Dia baru membisikkan jika ada yang benar-benar penting. Ceritanya begini, Manajer Persita saat itu, lama tak datang ke mess Persita.
Kondisi kas minus. Buat pemain makan tak ada uang. Bendol berbisik. “Bikin beritanya manajer gak pernah dateng. Pemain makan bayar sendiri-sendiri,” ujar Bendol.
“Iya Om Ben,” jawab saya. Saya memanggilnya dengan sebutan Om.
Lalu dengan sangat tegas Bendol mengatakan kepada pemain-pemain Persita. “Eh… Kaem kabe ya,” pemain mengangguk.
KMKB yang dimaksud Bendol adalah kau makan kau bayar.
Besoknya, manajer itu menelpon saya. Klarifikasi atas kondisi Mess Persita. Buat saya tidak penting. Yang penting, dapur mess Persita ngebul.
Satu hal lagi yang menggambarkan sosok Benny Dollo ditakuti pemain yakni cerita Uci Sanusi. Bek kiri Persita itu perokok. Suatu kali ketika sedang merokok ada Bendol.
Rokok itu tidak dibuang ke tempat yang jauh untuk menghilangkan jejak. Karena pasti ketahuan saat ia melempar.
Lalu bagaimana cara Uci menyelamatkan mukanya?
Rokok itu digenggam habis di genggaman tangannya. Anda mampu membayangkan telapak tangannya melepuh.
“Saya hormati Bendol,” kata Uci. “Saya tau merokok tidak baik. Karena itu hukumannya saya jalani sendiri. Saya genggam puntungnya di telapak tangan saya,” sambung Uci.
Kini semua itu tinggal kenangan. Om Ben sudah tiada. Dia mendahului kita. Semoga damai di sana. ***