Jakarta, WartaJMI–Forum kerja sama serantau Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) baru saja kelar 21-23 Maret lalu di Jakarta. Pertemuan tahun tersebut berfokus pada bidang kepelabuhanan, pelayaran dan transportasi logistik dalam kawasan. Sebagai tuan rumah adalah PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo).
Namun pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi mempertanyakan ektifitas pertemuan tersebut. Padahal, lanjutnya, pertemuan tahunan tersebut diklaim panitia dihadiri lebih dari 350 orang eksekutif yang berasal dari perusahaan pelayaran, pengiriman barang, pemilik kargo, bongkar muat, logistik, investor, pemerhati ekonomi, konsultan, kepelabuhanan, peralatan pelabuhan serta penyedia jasa TI hadir.
“Kita, patut mempertanyakan hal itu karena berkaca dari berbagai forum sejenis yang ada di kawasan ASEAN sepertinya lebih bersifat seremonial semata. Adapun hasil konkretnya masih “jauh panggang dari api”,’ tukas Siswanto.
Ia menambahkan, Indonesia sebagai negara heavyweight di kawasan ASEAN Timur, bahkan se-Asia Tenggara, sangat berkepentingan agar sektor kepelabuhanan, pelayaran dan transportasi logistik nasional berkembang. Salah satunya melalui forum tersebut. Namun Indonesia tidak bisa hanya berharap kepada forum tersebut
.
Menurut Siswanto, terdapat program maritim yang bagus tetapi tidak berkelanjutan. Bahkan ada program atau proyek yang sempat berjalan tetapi pada akhirnya berhenti. Diantaranya program konektivitas yang menghubungkan Indonesia timur dengan daerah selatan Filipina dan Brunei Darussalam yang diresmikan Presiden Jokowi pada 2017.
Siswanto menyitir pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut, konektivitas tersebut bagian dari kerja sama ekonomi antarkedua negara. Ketika itu perdagangan Indonesia dan Filipina, di tengah kelesuan dunia justru meningkat tajam hingga mencapai 32 persen. Bahkan rute baru itu bisa tersebut mampu menghemat biaya hingga 70 persen, dari 2.200 dolar AS (untuk rute Manila ke Manado lewat Jakarta) untuk setiap pengiriman 20 kontainer berukuran standar, menjadi 700 dolar AS untuk rute baru. Kini, tidak jelas bagaimana nasib rute ini.
Pada pemberitaan media dikatakan, rute tersebut dinilai gagal total. Semenjak berlayar perdana 30 April 2017 dari Davao ke Bitung pulang pergi, setelahnya belum ada pelayaran lagi sama sekali. Hal itu lantaran masih banyaknya regulasi perdagangan yang sangat ketat dan membuat pelaku usaha kewalahan. Padahal para pengusaha sangat antusias memanfaatkan rute pelayaran tersebut.
“Sepertinya tidak ada keseriusan dari seluruh pihak, baik pemda maupun pusat untuk mengurai sejumlah persoalan yang masih menghambat. Misalnya, terkait status Balai Karantina di Pelabuhan Bitung yang masih kelas tiga, sehingga belum bisa memproses keperluan ekspor. Dengan status seperti itu, pengurusan perizinan harus ke Jakarta. Sementara, penyelesaian proses perizinan yang harus terpusat ini memakan waktu yang lama,” ujar Siswanto.
Selain itu, lanjut dia, untuk impor, pengurusan perizinan berkaitan dengan SNI dan BPOM juga masih harus ke Jakarta. Belum lagi ditambah beberapa barang-barang yang masih terjangkau aturan Lartas (larangan-pembatasan).
Pada pertemuan tahunan BIMP-EAGA 2023 tersebut ada niat mengembangkan kembali konektivitas maritim sekawasan. Hanya saja, persoalan yang melilit konektivitas sekawasan yang sudah dicoba sebelumnya ternyata berakhir tak jelas.
Diketahui, pada pertemuan BIMP-EAGA 2023 tersebut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (BKS) mendorong para pelaku bisnis, pemerintah pusat dan pemda menghidupkan peluang bisnis layanan ferry dalam rute wilayah BIMP-EAGA. Termasuk rute konektivitas lain yang bermanfaat bagi wilayah Indonesia.
“Dalam pembangunan infrastruktur, Kementerian Perhubungan juga mengembangkan Makassar New Port yang termasuk dalam wilayah BIMP-EAGA dengan tujuan untuk membuat konektivitas maritim di kawasan tersebut menjadi lebih baik,” ujar Budi Karya Sumadi dalam arahannya.
Budi Karya juga menekankan pentingnya kolaborasi empat negara melalui kemitraan strategis dan kolaborasi antara sektor swasta Adanya kontribusi dari instansi pemerintah terkait diharapkan keandalan layanan logistik dalam wilayah BIMP-EAGA dapat ditingkatkan. Ini dapat menjadi kekuatan untuk mendorong perekonomian yang lebih berkelanjutan dan atraktif dalam wilayah tersebut.
Memang Indonesia mempunyai potensi bisnis maritim yang besar. Diungkapkan President Indonesian Maritime Pilots Association (INAMPA) Pasoroan Herman Harianja, potensi ekonomi kemaritiman di Indonesia dari 11 sektor, memiliki nilai ekonomi sebesar Rp18.000 triliun lebih per tahun. Selain itu masih ada potensi bisnis logistik. Nilainya cukup besar, sekitar Rp2.500 triliun per tahun.
“Potensi sektor kemaritiman ini sangat besar, karena itu pemerintah menargetkan Indonesia ke depan menjadi poros maritim dunia. Karena itu juga, tentu membutuhkan sistem transportasi laut yang andal untuk kegiatan bisnis tersebut,” ujarnya seperti dikutip Antara, (1/3/2023).
Menurut Herman, abad 21 ini adalah milik Asia Pasifik. Pusat bisnis juga akan terus berkembang terutama di sektor bisnis kemaritiman. Namun untuk mencapai tersebut, kata Herman, perlu ditunjang penguatan infrastruktur, suprastruktur, sistem dan teknologi informasi adalah hal yang sangat vital.Diantaranya upaya peningkatan layanan jasa maritim, demi efektivitas dan efisiensi, sehingga memiliki daya saing global yang kompetitif, baik di sektor kepelabuhanan dan ekosistem kemaritiman lainnya.
Tak hanya itu. Herman juga menegaskan perlu penguatan dan pengembangan SDM kemaritiman, baik dari sisi kualitas dan kuantitas, dan perlu mendapatkan prioritas utama untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.