Manusia jenis Mario Dandy Satrio bakal terus bermunculan di negara kita, negara yang berdasarkan hukum. Mengapa? Sebab, dalam menangani kasus, para penegak hukum patut diduga sering menyalahgunakan kata KOOPERATIF.
Dalam sejumlah peristiwa tindak pidana, penegak hukum dicurigai bermain mata dengan seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka karena tidak menahan tersangka. Padahal, syarat objektif untuk melakukan penahanan sudah terpenuhi.
Memang, selain syarat objektif, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana alias KUHAP juga ada syarat subjektif. Jadi, penyidik kepolisianlah yang menentukan apakah seorang tersangka perlu ditahan atau tidak.
Itulah yang menjadi soal. Sebab, biasanya yang diperlakukan spesial adalah tersangka dengan status sosial tinggi atau bukan orang biasa.
Dan ketika menjelaskan tentang hal itu, polisi sering menggunakan kata KOOPERATIF. Biasanya publik tidak percaya omongan polisi. Artinya, polisi dianggap menyalahgunakan kata KOOPERATIF.
Kini, soal ‘restorative justice’ atau keadilan restoratif juga mulai disorot publik. Sebab, sesungguhnya keadilan restoratif tidak bisa diterapkan sesuka hati. Keadilan restoratif hanya dapat diterapkan dalam perkara pidana ringan, perempuan yang berhadapan dengan hukum, perkara anak, dan narkotika.
Ya, publik semakin tidak mempercayai polisi. Bayangkan saja, ada kasus mahasiswa UI tewas terlindas mobil dan ditetapkan sebagai tersangka. Rupanya, pengemudi mobil yang melindas si mahasiswa seorang pensiunan AKBP, mantan kapolsek di Jakarta Utara. Polisi kemudian melarat keputusan dengan mencabut status tersangka si korban. Dan itu berkat kegigihan masyarakat membela korban lewat media sosial. Banyak contoh lain, termasuk kasus Ferdy Sambo, eks Kadiv Propam Mabes Polri.